Melanjutkan pentingnya melahirkan Mobil Listrik Indonesia, selain perlu untuk mempertimbangkan faktor kelangkaan BBM, maka masih banyak pula para ahli teknik yang masih penasaran dengan apa sesungguhnya mobil listrik itu sendiri. Banyak pertanyaan dasar yang sering muncul misalnya: apakah ada mesinnya ? apakah pakai gear box ? berapa banyak baterainya ? berapa lama kekuatan sekali men-charge ? dan sampai pada pertanyaan besarnya adalah apakah memang mobil listrik ini sudah memiliki standarisasi yang memungkinkan untuk bisa di produksi masal? Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka dengan latar belakang sarjana teknik yang dimiliki, maka dalam kesempatan ini akan coba dibedah lebih mendalam mengenai konsep dasar perencanaan produk mobil listrik tersebut.
Sesuai dengan teorinya, dalam membuat sebuah produk otomotif , maka ilmuwan/perusahaan harus memenuhi tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan konsep
2. Tahapan membuat model
3. Tahapan membuat pengembangan Chassis dan komponen
4. Tahapan mengintegrasikan axles & drivetrain
5. Tahapan mengintegrasikan dan pemasangan mesin/motor
6. Tahapan pengecekan fungsi dinamika kendaraan
7. Tahapan pengetesan untuk fungsi, daya tahan, dan uji coba medan
Ketujuh tahapan tersebut, harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai pada akhirnya ilmuwan atau perusahaan harus dapat membuat blue print dan material list yang berisikan gambar dan komponen standar dari produk tersebut, sehingga pada saat kendaraan tersebut sudah memasuki produksi masal, maka standarisasi dari produk tersebut akan sama untuk setiap produk yang dihasilkan.
Terkait dengan mobil listrik yang menjadi topik bahasan kali ini, maka perlu diuraikan terlebih dahulu bahwa mobil listrik yang ada saat ini terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: platform yang meliputi chassis dan body mobil, motor (sistem penggerak) listrik, sistem kendali (motor controller), sistem manajemen baterai (battery management system), sistem manajemen energi (energy management system), baterai dan sistem pengisian baterai (charging battery).
Prinsip kerja mobil listrik ini dimulai dengan adanya input pengendali yang diperoleh dari pedal akselerator dan rem dimana selanjutnya pengendali ini akan menyediakan sinyal yang sesuai ke converter daya elektronika untuk mengatur aliran daya antara motor listrik dan baterai. Motor juga memainkan peran generator untuk mengkonversi energi pengereman untuk menjadi elektron dan mengisi baterai. Selanjutnya unit manajemen energi akan bekerja sama dengan pengendali mobil untuk mengendalikan pengereman regenerasi dan recovery energi.
Kelebihan mobil listrik dibandingkan dengan mobil konvesional adalah suaranya halus, sedikit getaran, dan yang paling penting adalah zero emission. Sedangkan kekurangannya adalah pada jarak tempuh yang sementara ini masih terbatas dan saat ini masih terus dikembangkan berbagai terobosan terutama dengan menggunakan sistem super kapasitor.
Secara umum, walaupun setiap mobil memiliki spesifikasi ketahanan yang berbeda, perhitungan pengisian baterai adalah sebagai berikut: waktu yang diperlukan untuk mengisi baterai rata-rata selama 6 - 7 jam jika menggunakan voltase rumahan 220 v, walaupun sesungguhnya bisa juga apabila sistem pengisian tersebut dirancang khusus sehingga waktu pengisian hanya sekitar 1 - 2 jam. Dengan sistem pengisian baterai selama itu, maka jarak tempuh yang bisa dicapai oleh mobil listrik tersebut adalah sekitar 130 - 150 KM, tergantung dari medan yang dilalui oleh mobil listrik tersebut.
Dari sisi biaya penghematan yang dapat diperhitungkan sebagai berikut: jika harga pertamax adalah seharga Rp. 11.000, sedangkan mobil konvensional bisa menempuh 1: 11, maka biaya per kilometer adalah Rp. 1000,-. Sedangkan apabila kita perhitungkan mobil konvensional dengan spesifikasi yang sama, tapi menggunakan bbm bersubsidi sebesar Rp. 6.500,- maka biaya perkilometer adalah Rp. 591,-. Disisi lain, seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam satu kali sistem pengisian baterai listrik yang dibutuhkan adalah sebesar 7 - 8 kilometer untuk setiap kilowatt yang diisikan ke dalam baterai. Sehingga untuk menempuh jarak tempuh sejauh 130 km, maka diperlukan listrik sebesar 16,25 Kwt. Apabila saat ini harga listrik non subsidi per kilowatt adalah Rp. 1.380,- maka untuk setiap kilometer adalah sekitar Rp. 172,- yang artinya biaya penggunaan listrik per kilometer ini hanya sekitar 29,1% dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar subsidi.
Yang lebih menarik lagi dalam konsep pengembangan mobil listrik dalam negeri ini adalah konsep penyiapan infrastrukstur pengisian baterai. Menurut Bapak Dahlan Iskan, selaku penggagas mobil listrik ini, mobil konvensional dalam mengisi bbm diharuskan untuk pergi ke stasiun pengisian bahan bakar dikarenakan stasiun pengisian bahan bakar tersebut tidak dapat dibangun di rumah masing-masing. Selain itu, untuk membangun sebuah stasiun pengisian bahan bakar, saat ini membutuhkan nilai investasi lebih dari Rp. 10 milyar, dimana biaya tersebut belum termasuk biaya perijinan yang sangat panjang dan sulit serta membutuhkan waktu pembangunan sekitar 9 - 12 bulan. Hal ini berbeda dengan stasiun pengisian kendaraan listrik, dimana selain mobil tersebut dapat diisi ulang di rumah pada saat pemilik kendaraan sedang beristirahat, atau di kantor pada saat orang sedang bekerja dan bahkan di fasilitas publik pun dapat dibangun dengan waktu sekitar 3 hari dengan biaya sekitar Rp. 5 juta/stasiun pengisian.
Faktor ketiga dan yang juga menarik adalah dengan telah memiliki industri mobil listrik dengan disertai blue print yang kuat serta daftar komponen yang standar, maka bisa dipastikan industri ini akan dapat mengajarkan para pelaku bisnis kecil untuk dapat membantu menciptakan suku cadang sesuai dengan standarisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga mau tidak mau dengan berkembangnya industri mobil listrik Indonesia, bukan hanya tingkat pengangguran yang dapat diturunkan tapi juga sekaligus menaikkan besaran pewirausaha yang diharapkan menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebuah penciptaan standarisasi komponen yang unik, juga memungkinkan industri ini untuk melindungi para supplier lokal dari serbuan AFTA yang belum tentu memiliki standarisasi yang sama.
Faktor terakhir dan terpenting adalah berkaitan dengan konsep Zero Emission, dimana sudah jelas dengan mobil listrik ini polusi dan emisi yang sudah sangat berlebihan dan cenderung membahayakan ini dapat dikurangi dan itu akan menjadi warisan yang dapat kita tinggalkan kepada anak dan cucu kita kelak. Dimana udara yang akan mereka hirup adalah udara yang bersih dan memungkinkan anak-anak tumbuh sehat dan kuat.
Melihat banyaknya keuntungan yang ada, sudah seharusnya kita sebagai insan bangsa untuk intens dan terus berusaha keras mendorong terjadinya sebuah produksi masal dari mobil listrik Indonesia ini, dimana sebelumnya marilah kita ikuti tahapan perencanaan produk yang ada sehingga kita memiliki blue print yang jelas dan jangan hanya sebatas trial and error yang biasanya hanya akan menjadi monumen atau hiasan semata. Mari berjuang untuk Indonesia yang lebih baik
Jakarta, 25 Maret 2014
Erwin Suryadi
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi